Medan - Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAID) Sumatera Utara sepanjang tahun 2011 telah menangani sebanyak 27 kasus. Dimana dari 27 Kasus tersebut, Penganiayaan sebanyak 6 kasus, Sodomi sebanyak 1 kasus, Penelantaran 2 kasus, Hak Kuasa Asuh sebanyak 5 kasus, Pengasuhan secara paksa sebanyak 1 kasus, Pencabulan sebanyak 6 kasus, Hak pendidikan anak sebanyak 2 kasus, Pemerkosaan 1 kasus dan anak yang berhadapan dengan hukum sebanyak 3 kasus.
"Jadi mulai dari Januari hingga maret ini, kasus yang paling banyak ditahun ini adalah kasus penganiayaan dan kasus pencabulan," kata Ketua KPAID Sumut, Zahrin Piliang. Jumat (4/3)
Dikatakan Zahrin, jumlah kasus yang ditangani sepanjang tahun 2010 kemarin sebanyak 153 kasus dimana kasus tertinggi adalah kasus Hak kuasa asuh sebanyak 45 kasus, Pencabulan sebanyak 25 kasus, penganiayaan sebanyak 21 kasus, Penelantaran anak sebanyak 17 kasus, Anak berhadapan dengan hukum 13 kasus, Perkosaan sebanyak 9 kasus, Intiidasi terhadap anak sebanyak 6 kasus, Hak Pendidikan dan Trfiking anak masing-masing 3 kasus, Gizi buruk sebanyak 2 kasus, Pernikahan dini, Anak hilang, Pengangkatan Anak, Anak Terlantar, Hak kesehatan, Korban Kelainan, Hak memilih agama masing-masing satu kasus.
Disinggung mengenai kendala yang sering dihadapi KPAID, lelaki berkulit sawo matang ini menjelaskan, kalau kasus sudah sampai ditangan pihak kepolisian menjadi lamban karena pihaknya merasa penanganan kepolisian sangat berpegangan pada syarat formil. Artinya, kalau permasalahan pemerkosaan, pihak keluarga mengadu kepihak kepolisian, maka kasus tersebut akan lama diproses. "Karena di kepolisian dalam memecahkan kasus, harus menunjukkan bukti yang menunjukkan kalau dia masih anak-anak, misalnya dengan membawa kartu keluarga dan akta kelahiran," paparnya seraya mengatakan setiap keluarga korban yang membuat pengaduan, kebanyakan tidak berpikir untuk membawa tanda pengenal seperti yang diatas.
Masih dikatakannya, sering kali keterlambatan pemecahan masalah dikarenakan kurangnya saksi dan bukti. "Padahal anak yang melapor merupakan korban kekerasan, apalagi eksploitasi seksual, karena didalam pasal 59 UU Perlindungan Anak, mereka(anak-anak-red) harus mendapat perlindungan dan seharusnya pihak kepolisian sesuai dengan pasal tersebut, mestinya mereka menerima pengaduan dan pihak kepolisian harus berpikir kalau mereka sangat memerlukan bantuan dalam proses hukum," bebernya seraya mengatakan akibat cara pandang seperti ini, yang tidak memiliki perspektif, maka kasus yang ada di KPAID sering terabaikan kalau sudah sampai ditangan kepolisian. (akb)
"Jadi mulai dari Januari hingga maret ini, kasus yang paling banyak ditahun ini adalah kasus penganiayaan dan kasus pencabulan," kata Ketua KPAID Sumut, Zahrin Piliang. Jumat (4/3)
Dikatakan Zahrin, jumlah kasus yang ditangani sepanjang tahun 2010 kemarin sebanyak 153 kasus dimana kasus tertinggi adalah kasus Hak kuasa asuh sebanyak 45 kasus, Pencabulan sebanyak 25 kasus, penganiayaan sebanyak 21 kasus, Penelantaran anak sebanyak 17 kasus, Anak berhadapan dengan hukum 13 kasus, Perkosaan sebanyak 9 kasus, Intiidasi terhadap anak sebanyak 6 kasus, Hak Pendidikan dan Trfiking anak masing-masing 3 kasus, Gizi buruk sebanyak 2 kasus, Pernikahan dini, Anak hilang, Pengangkatan Anak, Anak Terlantar, Hak kesehatan, Korban Kelainan, Hak memilih agama masing-masing satu kasus.
Disinggung mengenai kendala yang sering dihadapi KPAID, lelaki berkulit sawo matang ini menjelaskan, kalau kasus sudah sampai ditangan pihak kepolisian menjadi lamban karena pihaknya merasa penanganan kepolisian sangat berpegangan pada syarat formil. Artinya, kalau permasalahan pemerkosaan, pihak keluarga mengadu kepihak kepolisian, maka kasus tersebut akan lama diproses. "Karena di kepolisian dalam memecahkan kasus, harus menunjukkan bukti yang menunjukkan kalau dia masih anak-anak, misalnya dengan membawa kartu keluarga dan akta kelahiran," paparnya seraya mengatakan setiap keluarga korban yang membuat pengaduan, kebanyakan tidak berpikir untuk membawa tanda pengenal seperti yang diatas.
Masih dikatakannya, sering kali keterlambatan pemecahan masalah dikarenakan kurangnya saksi dan bukti. "Padahal anak yang melapor merupakan korban kekerasan, apalagi eksploitasi seksual, karena didalam pasal 59 UU Perlindungan Anak, mereka(anak-anak-red) harus mendapat perlindungan dan seharusnya pihak kepolisian sesuai dengan pasal tersebut, mestinya mereka menerima pengaduan dan pihak kepolisian harus berpikir kalau mereka sangat memerlukan bantuan dalam proses hukum," bebernya seraya mengatakan akibat cara pandang seperti ini, yang tidak memiliki perspektif, maka kasus yang ada di KPAID sering terabaikan kalau sudah sampai ditangan kepolisian. (akb)
0 komentar:
Posting Komentar