Lukisan Bung Karno Berdetak Jantungnya


Lukisan potret Presiden RI ke-1 dikabarkan bisa berdetak persis di jantungnya. Lukisan tersebut kini dipajang di galeri yang berada satu komplek dengan makam Bung Karno, Blitar, Jawa Timur.

Lukisan dipasang dekat pintu masuk Galeri sehingga tampak mencolok bagi pengunjung yang masuk. Berbingkai kayu kelir emas, lukisan berukuran sekitar 1,5×1,75 meter tersebut ditopang penyangga besi sekitar setengah meter dari dinding, sehingga terlihat gagah.

Tak ada yang aneh saat melihat lukisan ini dari depan. Keganjilan baru terlihat ketika pengunjung melihat lukisan dari samping. Kanvas di dada kiri Bung Karno bergerak maju-mundur, menciptakan ilusi degup jantung. Menariknya, ritme degup jantung ini sekitar 60-70 detak per menit, mirip manusia normal.

Staf Galeri Bung Karno Friska Fauzi mengatakan, foto Bung Karno yang berdegup menjadi daya tarik tersendiri. Pengunjung kerap berkumpul di samping lukisan sambil menatap dalam-dalam ke arah dada Bung Karno.

Mohammad Zariul Alim dari Madura sengaja datang ke Blitar untuk membuktikan mitos tersebut. "Yang saya dengar lukisan itu bisa berdetak, jadi saya merasa penasaran," ujarnya, Jumat (6/4/2012).

Pengunjung lainnya, Nur Faizatul Maghfiroh juga ingin membuktikan langsung, tentang mitos jantung di lukisan itu bisa berdetak.

Mitos jantung di lukisan Bung Karno yang bisa berdetak itu memang tersiar luas. Ribuan pengunjung dari berbagai daerah di Jatim, selain berkunjung ke makam juga singgah ke lokasi perpustakaan.

Lukisan itu dibawa dari Istana Bogor oleh Mantan Presiden Megawati Soekarno Putri, untuk memperingati 100 tahun haul Bung Karno pada 2001 lalu.

Untuk melihat kebenaran dari mitos itu, para pengunjug harus antre lama melihat dengan mata jeli tentang kepastian dari mitos tersebut.

Mitos lukisan berdetak di jantungnya tersebut membuat pengunjung ke makam Bung Karno bertambah. Jika pada hari biasa hanya ada sekitar 400 kunjungan ke galeri, sekarang mencapai 600 kunjungan yang berasal dari seluruh Indonesia.

Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Kota Blitar Muh Sidik mengatakan, fenomena jantung lukisan Bung Karno berdetak itu memang tidak bisa dijelaskan dengan ilmu. Ia hanya mengatakan, adanya fenomena itu memang menjadikan keunikan tersendiri.

"Fenomena itu tidak bisa dijelaskan lewat ilmu pengetahuan. Kami hanya melakukan pengelolaan perpustakaan saja, dan tentang mitos ini tentunya menjadikan keunikan sendiri," kata Sidik. (surya/berbagai sumber)

Akhirnya Hernia Itu Diangkat


Hampir 24 tahun aku pendam penyakit yang kata orang bisa menyebabkan tidak bisa mempunyai keturunan. Sering sudah aku mendengar kalimat “Tunggu apalagi, segera diobati, baik dengan cara tradisional ataupun dengan cara modern atau dengan Operasi” kalimat itu yang acapkali memenuhi pikiranku sampai sekarang.

Namun tidak ada sedikit tindakan yang aku ambil untuk menghilangkan penyakit tersebut yang sudah membenam hampir 24 tahun tersebut. Hal itu aku lakukan karena aku takut untuk operasi. Oleh karena itu, pihak keluarga dan orang-orang terdekat menyuruh aku untuk menyembuhkan penyakit tersebut dengan pengobatan tradisional. Karena sudah banyak yang mengatakan dan menyuruh aku untuk melakukan pengobatan tradisional untuk menghilangkan penyakit yang aku derita, akhirnya aku memutuskan untuk mengambil cara pengobatan tradisional.

Mulai dari pengobatan tradisional yang berada di kampong aku yaitu di Batang Serangan sampai pengobatan tradisional di Kota Medan sendiri. Namun, penyakit aku tak kunjung sembuh sesuai harapan yang aku dan keluargaku inginkan. Memang penyakit yang aku derita tidak menimbulkan rasa sakit dan menghambat aktivitasku. Namun karena doktrin yang mengatakan kalau penyakit itu dipelihara tidak baik dan nantinya aku tidak mempunyai keturunan.

Oleh karena itu, setelah pengobatan tradisional tak kunjung memberikan hasil yang diinginkan, aku konsultasi ke dokter. Langsung dengan seketika dokter mengatakan penyakit itu harus dioperasi. Mendengar pernyataan dokter seperti itu, wajah aku langsung berubah menjadi pucat. Seketika dokter mengatakan kalau aku tidak boleh pucat, karena mau tidak maunya kamu itu harus segera diangkat. “Masaan anak laki-laki takut untuk dioperasi,” kata dokter itu seraya mengejekku dengan senyumannya.

Dengan seketika, dokter tersebut membuat surat pengantar agar aku bisa dirawat di rumah sakit Coloumbia Asia untuk melakukan operasi. Mau tidak mau aku harus mengambil surat itu dan dokter tersebut member aku waktu seminggu menanti keputusan dariku. Waktu terus berjalan detik demi detik, menit ke menit jam berganti jam hari berlalu berganti bulan dan tahun, aku tak kunjung memberikan jawaban apakah aku mau operasi atau tidak.

Namun apa yang aku dapatkan, penyakit tersebut masih bersarang dan duduk manis dibagian tubuhku. Tidak terasa sakit memang, namun yang namanya penyakit harus diambil. Aku berpikir, terus berpikir bahwa semua keputusan ada pada diriku sendiri. Bertahun-tahun setelah mendapat surat pengantar dari dokter tersebut, akhirnya aku memutuskan untuk memberanikan diriku melakukan operasi.

Waktu itu tahun 2011 persisnya awal bulan Maret aku datang kembali ke RS Coloumbia Asia untuk dirawat dan keesokan harinya agar aku bisa dioperasi. Sewaktu itu, aku masih ingat, aku dan mama datang ke rumah sakit tersebut sekitar pukul 11.00 Wib. Sesampainya aku di rumah sakit tersebut, spontanitas raut wajahku langsung berubah, tangan aku tiba-tiba dingin setelah melihat mama mendaftarkan aku sebagai pasien rawat inap dirumah sakit ternama di Kota Medan tersebut.

Beberapa menit berselang setelah pendaftaran tersebut, aku masuk keruangan dimana tempat kau akan menginap. Aku berada diruangan 704. Pertama aku masuk ke ruangan tersebut, aku belum diberi infuse karena aku harus menunggu dokter yang datangnya pada keesokan harinya. Jadi untuk hari itu aku bebas melakukan apa saja dirumah sakit tersebut.

Tidak terasa bagiku, akhirnya esok hari telah tiba setelah aku merasakan malam itu terasa sangat cepat. Esok hari pun datang, aku diinfus pada jam 08.00 Wib dan langsung disuruh puasa setelah jam 05.00 Wib aku memakan roti kering dan segelas susu.

Aku melakukan puasa karena itu merupakan satu syarat untuk operasi. Aku pun mengikuti prosedur tersebut. Tidak terasa, waktu sudah menunjukkan pukul 11.00 Wib, suster pun datang membawa pakaian operasi dan langsung aku disuruh untuk membuka baju dan memakai baju operasi. Selang setelah aku memakai baju operasi tersebut, suster datang kembali dan membawakan aku kursi roda. Melihat kursi roda tersebut, seluruh badan aku dingin dan kulit aku dibaluti warna putih pucat. “Kok pucat bang? Biasa ajalah bang,” kata suster cantik yang membawakan kursi roda untuk diriku.

Seraya aku menjawab, siapa yang pucat mbak, jawabku kepada suster yang sepertinya usianya jauh lebih muda dari diriku. “Ya situlah, siapa lagi cobak?” tanya suster cantik itu kepadaku. Usai sedikit perbincangan dengan suster cantik bernama Rini ini aku yang sudah dibaluti dengan pakaian serba hijau akhirnya dibawa keruang serba dingin, ruang apalagi kalau tidak ruang operasi.

Sesampainya dilantai 3 RSU Coloumbia Asia yang berada di Jalan Listrik Kota Medan, gambaran pucat mewarnai tubuhku yang sudah terlanjur dingin seperti es. “Keluarganya tunggu diruang tunggu ya, operasi sepertinya berjalan selama satu jam,” kata suster yang membawaku keruang yang super dingin bernama Rini itu.

Kupikir Rini akan terus mengantarku sampai diruang yang mempunyai lampu besar dan sangat kontras, namun pikiranku meleset. Ternyata, Rini hanya mengantarku sampai kepintu operasi, selanjutnya aku ditangani dengan suster yang sedikit lebih tua dari usiaku. Ia dia bernama Juli. Suster itu langsung membawa berkas dan menyuruhku untuk bertanda tangan. Sontak kutanya dengan suster yang memakai penutup kepala serba hijau. “Untuk apa tanda tangan ini sus?” tanyaku. Oh, ini untuk menandakan kalau pasien setuju dilakukannya operasi terhadap dirinya bang. “Oo0o0o0,” jawabku menggigil karena ruangan begitu dingin.

Aku dipindahkan dari kursi roda ketempat tidur yang beralaskan seperti seng. Itu aku katakan, karena saat aku dipindahkan, terasa punggungku kaku karena dingin yang dihasilkan tempat tidur tersebut. Setelah itu selang beberapa menit datang seorang dokter yang memperkenalkan dirinya. Setelah perkenalan singkat itu, dirinya sontak mengatakan hendak membius aku sembari menjabat tangaku yang sepertinya sudah beku kaiak es batu. Disuruhnya aku berbalik kesebelah kanan, dengan kaki melipat dan tangan persis disamping kepala. “Tahan ya, sedikit terkejut dan tidak sakit,” kata dokter berkulit putih ini.

“Cenguueeetttt” bunyi dari obat bius yang disuntikkannya kepadaku. Setelah penyuntikan yang berlangsung hanya sekitar 15 detik itu, dia menginstruksikan agar aku mengangkat kedua kakiku. Imbauan pertama, kedua kakiku masih bisa terangkat namun imbauan kedua, kakiku tak bisa lagi digerakkan dan sontak aku merasa kehilangan kakiku. Setelah bius bereaksi dikakiku, kedua tanganku diikat dan penglihatanku dihalangi dengan sebuah penghalang yang bertujuan aku tidak bisa melihat mereka mempreteli bagian kemaluanku. Sudah tidak tahu lagi apa yang mereka lakukan kepadaku, aku merasakan ngantuk yang sangat dalam. Akupun tertidur namun sadar. Dalam tidurku, aku bisa merasakan perut bagian bawahku dibuka dengan gunting. Aku merasakan gesekan gunting dengan kulitku, namun aku tidak merasakan sedikit sakit akibat gesekan tersebut.

Dipertengahan operasi yang aku jalani, badanku yang begitu dingin akhirnya tersadar dan membuka mataku. Langsung aku bersuara dan meminta kepada suster yang ada disana untuk menyelimuti tubuhku karena aku merasakan dingin yang sedingin-dinginnya. Mereka langsung memberiku selimut tebal yang karena itu tubuhku sedikit terasa hangat. Namun entah kenapa, aku merasa mual dan sangat mual. Aku tak berani bersuara lagi, menahan rasa mual yang melanda tubuhku, aku terus-terusan menelan air liurku sampai air liurku tak terasa lagi.

Bibir kering akibat pendingin ruangan yang begitu banyak dan sepertinya di stel dengan ukuran dingin 16 derajat celcius. Terus aku melawan rasa mual itu sampai aku tertidur pulas. Tidak mengetahui apa yang terjadi, ternyata aku sudah tidak berada diruangan yang dingin. Ruang pemulihan merupakan ruanganku setelah aku dioperasi. Tempat ini biasa digunakan bagi pasien yang baru selesai dioperasi sebelum diantar keruagan tempat dimana dia dirawat dan menginap.

Beberapa menit pasca operasi, setengah sadarku melihat sesosok wanita berseragam hijau mengantarkanku kedepan pintu operasi untuk menyerahkan aku keperawat yang ada diruangan tempat aku dirawat dan menginap. Setelah itu, akupun dibawa ke ruanganku. Belum terasa sakit saat aku batuk pasca operasi. Hal itu kemungkinan karena bius yang ada dalam tubuhku masih bereaksi.

Tidur pun menjadi pilihanku karena ngantuk menyerang. Beberapa jam aku terpulas ditempat tidurku persisnya di kamar 704 rumah sakit Coloumbia Asia yang berada di Jalan Listrik Kota Medan. “Aduh, sakit sekali kurasakan” ternyata, bius yang ada di tubuhku sudah habis. Sakitpun mulai melanda sebagian tubuhku. Terasa sakit saat batuk sedang aku laksanakan. Ntah kenapa jelang operasi, batuk melanda diriku. Padahal jauh hari, batuk belum menghampiri diriku.

Merana, bisa dikatakan begitu. Karena batuk tak bisa ditahan karena dia menggerogoti tenggorokanku sehingga rasa gatal tak mungkin dipungkiri. Namun rasa sakit itu hanya beberapa menit. Itu karena aku langsung menghubungi suster dan meminta obat penahan rasa sakit. Setelah aku meminum obat yang diberikan suster itu, rasa sakit yang aku alami perlahan menghilang.

Sehari setelah aku selesai operasi, BlackBerry aku berbunyi dan menandakan ada BlackBerry Messanger (BBM) yang masuk. Aku lihat dan rupanya, perempuan yang aku kenal dari BBM mengirim pesan sama aku. “Sakit apa? Kok gak ngabari? Sudah berapa lama dirawat disana? Dirumah sakit mana? Dan kamar nomor berapa,” BBM dari perempuan bernama Emi yang terdaftar di kontak BBM aku. Sontak akupun menjawab “Aku dirumah sakit Coloumbia Asia dikamar 704. Beberapa hari sebelum aku dioperasi, aku sudah mencoba menghubungi mu, tapi tak ada respon” jawabku membalas BBM dari Emi.

Keesokan harinya, Emi langsung membesuk aku dirumah sakit. Kali pertama aku melihat wanita berparas cantik sepadan dengan tinggi badan dan kulit putih berjilbab membuat anggun dirinya dipenglihatanku.

“Akbar ya?” sapanya ramah.

“Ia. Kamu Emi ya?” jawabku. “Silahkan duduk ditempat yang kosong,” jawabku seloro.

“Ia. Ini ada sedikit bawaanku. Dimakan ya.” Jawabnya ramah.

“Baiklah,” kata ku singkat.

“Gimana keadaan kamu sekarang? Oia, emang kamu sakit apa?” tanyanya.

(Percakapan pun dimulai)

“Alhamdulillah sudah mendingan. Aku sakit Hernia mi,” jawabku.

“Udah lama? Kok milih untuk dioperasi?” tanyanya

“Udah. Penyakit ini aku derita saat aku masih kecil. Sudah berbagai pengobata aku lakukan, namun tak kunjung sembuh. Jadi ya, cara terbaik harus dioperasi dan ya ini sekarang keputusanku, alhamdulillah sekarang penyakit yang aku derita selama 24 tahun sudah clear dalam beberapa jam saja,” uraiku kepada wanita berparas cantik ini.

“Ooohh, Alhamdulillah ya,” jawabnya singkat namun padat.

Setelah berbincang denganku, keluargaku pun datang untuk melihatku. Terkejut, baik itu orangtuaku maupun saudara kandungku. Namun keluargaku tak mau bertanya panjang lebar siapa perempuan ini. Mereka hanya melontarkan pertanyaan, siapa ini bar? Langsung ku jawab, teman ma. Kebetulan yang bertanya mamaku. O0o0o0, jawab mamaku.

Selama Emi disitu, yang merawat aku, baik itu mengambil air minum, menyulangi makanku dan membuang kotoran yang ada dimulutku, ya wanita berjilbab ini. Aku heran, kenapa dia melakukan hal ini kepadaku. Padahal ini kali pertama aku dan dia bertemu. Namun serasa sangat lama kami kenal karena perilakunya terhadapku saat itu.

Bukan aku saja yang merasa heran, seluruh keluarga intiku juga bertanya-tanya. Siapa perempuan ini. Tak terasa, wanita berkulit putih ini sudah menemanika sekitar 11 jam. Waktu itu, jam dinding dikamarku sudah menunjukkan pukul 23.00 WIB. Aku bertanya, pulang naik apa Emi? O0o0o0, ntar bisa naik taksi. “Emang, rumah Emi dimana?” tanyaku. “Galang,” jawabnya singkat. Wew, agak jauh ya rumahnya. Gak apa-apa tu kalau naik taksi kesana? “gak papa kok. Aman-aman aja,” jawabnya penuh dengan keyakinan.

Cerita punya cerita, akhirnya aku tahu kalau dirinya diantar jemput sama supirnya. Aku mengetahui itu dari penuturan Emi sendiri. Setelah dua hari dia menghampiri ku dirumah sakit, akhirnya dia mau angkat cerita mengenai dirinya pulang menaiki dan sama siapa. Hari berganti, Emi tak lagi datang. Hanya kabar dan komunikasi dari selular. Akupun pulang kerumah karena kondisiku sudah agak baikan. Pesan dokter pada diriku, aku kudu banyak istirahat dan obatnya jangan lupa diminum. Semenjak aku pulang dari rumah sakit itu, sehari setelah dirumah, keesokannya, Emi berkunjung kerumahku. Perhatian dan kepeduliannya tak berubah dan tak ada bedanya. Aku jadi semakin bertanya kenapa dan mengapa. Setelah pertanyaanku semakin larut, wanita itu menghilang bagai ditelan bumi. Kesehatanku pulih, perempuan pun itu pulih dari hadapan dan pikiranku.

Komunikasi tak lagi terjadi, kenangan tinggal kenangan. Namun, kebaikan, perhatian dan santun dari perempuan itu, tak dapat aku lupakan. Sampai sekarang aku belum tahu apa maksud dan tujuan wanita itu memperlakukan aku sedemikian melebihi pacarku sendiri. Biarlah itu tetap menjadi kenangan yang terindah selama aku dirawat dirumah sakit. Terakhir aku mendapat kabar tentang dirinya, dirinya hendak menikah. Dalam hatiku, alhamdulillah semoga pernikahan dia berjalan lancar dan mempunyai keturunan yang baik dan bisa membina keluarga shakinah ma wahdah warohmah. Terimakasih Nuri Erika Mita.