Hampir 24 tahun aku pendam penyakit yang kata orang bisa menyebabkan tidak bisa mempunyai keturunan. Sering sudah aku mendengar kalimat “Tunggu apalagi, segera diobati, baik dengan cara tradisional ataupun dengan cara modern atau dengan Operasi” kalimat itu yang acapkali memenuhi pikiranku sampai sekarang.
Namun tidak ada sedikit tindakan yang aku ambil untuk menghilangkan penyakit tersebut yang sudah membenam hampir 24 tahun tersebut. Hal itu aku lakukan karena aku takut untuk operasi. Oleh karena itu, pihak keluarga dan orang-orang terdekat menyuruh aku untuk menyembuhkan penyakit tersebut dengan pengobatan tradisional. Karena sudah banyak yang mengatakan dan menyuruh aku untuk melakukan pengobatan tradisional untuk menghilangkan penyakit yang aku derita, akhirnya aku memutuskan untuk mengambil cara pengobatan tradisional.
Mulai dari pengobatan tradisional yang berada di kampong aku yaitu di Batang Serangan sampai pengobatan tradisional di Kota Medan sendiri. Namun, penyakit aku tak kunjung sembuh sesuai harapan yang aku dan keluargaku inginkan. Memang penyakit yang aku derita tidak menimbulkan rasa sakit dan menghambat aktivitasku. Namun karena doktrin yang mengatakan kalau penyakit itu dipelihara tidak baik dan nantinya aku tidak mempunyai keturunan.
Oleh karena itu, setelah pengobatan tradisional tak kunjung memberikan hasil yang diinginkan, aku konsultasi ke dokter. Langsung dengan seketika dokter mengatakan penyakit itu harus dioperasi. Mendengar pernyataan dokter seperti itu, wajah aku langsung berubah menjadi pucat. Seketika dokter mengatakan kalau aku tidak boleh pucat, karena mau tidak maunya kamu itu harus segera diangkat. “Masaan anak laki-laki takut untuk dioperasi,” kata dokter itu seraya mengejekku dengan senyumannya.
Dengan seketika, dokter tersebut membuat surat pengantar agar aku bisa dirawat di rumah sakit Coloumbia Asia untuk melakukan operasi. Mau tidak mau aku harus mengambil surat itu dan dokter tersebut member aku waktu seminggu menanti keputusan dariku. Waktu terus berjalan detik demi detik, menit ke menit jam berganti jam hari berlalu berganti bulan dan tahun, aku tak kunjung memberikan jawaban apakah aku mau operasi atau tidak.
Namun apa yang aku dapatkan, penyakit tersebut masih bersarang dan duduk manis dibagian tubuhku. Tidak terasa sakit memang, namun yang namanya penyakit harus diambil. Aku berpikir, terus berpikir bahwa semua keputusan ada pada diriku sendiri. Bertahun-tahun setelah mendapat surat pengantar dari dokter tersebut, akhirnya aku memutuskan untuk memberanikan diriku melakukan operasi.
Waktu itu tahun 2011 persisnya awal bulan Maret aku datang kembali ke RS Coloumbia Asia untuk dirawat dan keesokan harinya agar aku bisa dioperasi. Sewaktu itu, aku masih ingat, aku dan mama datang ke rumah sakit tersebut sekitar pukul 11.00 Wib. Sesampainya aku di rumah sakit tersebut, spontanitas raut wajahku langsung berubah, tangan aku tiba-tiba dingin setelah melihat mama mendaftarkan aku sebagai pasien rawat inap dirumah sakit ternama di Kota Medan tersebut.
Beberapa menit berselang setelah pendaftaran tersebut, aku masuk keruangan dimana tempat kau akan menginap. Aku berada diruangan 704. Pertama aku masuk ke ruangan tersebut, aku belum diberi infuse karena aku harus menunggu dokter yang datangnya pada keesokan harinya. Jadi untuk hari itu aku bebas melakukan apa saja dirumah sakit tersebut.
Tidak terasa bagiku, akhirnya esok hari telah tiba setelah aku merasakan malam itu terasa sangat cepat. Esok hari pun datang, aku diinfus pada jam 08.00 Wib dan langsung disuruh puasa setelah jam 05.00 Wib aku memakan roti kering dan segelas susu.
Aku melakukan puasa karena itu merupakan satu syarat untuk operasi. Aku pun mengikuti prosedur tersebut. Tidak terasa, waktu sudah menunjukkan pukul 11.00 Wib, suster pun datang membawa pakaian operasi dan langsung aku disuruh untuk membuka baju dan memakai baju operasi. Selang setelah aku memakai baju operasi tersebut, suster datang kembali dan membawakan aku kursi roda. Melihat kursi roda tersebut, seluruh badan aku dingin dan kulit aku dibaluti warna putih pucat. “Kok pucat bang? Biasa ajalah bang,” kata suster cantik yang membawakan kursi roda untuk diriku.
Seraya aku menjawab, siapa yang pucat mbak, jawabku kepada suster yang sepertinya usianya jauh lebih muda dari diriku.
To be Continue…
0 komentar:
Posting Komentar