Trend Bekerja di Abad 21

IST
"Di masa depan, pekerjaan adalah sesuatu yang Anda kerjakan bukan sesuatu yang Anda datangi," demikian dikemukakan Charles Handy, seorang filsuf bisbis terkemuka dari Inggris. Pernyataan Handy secara perlahan telah menjadi kenyataan.

Sekitar 43 juta orang Amerika - 12 juta diantaranya bekerja paruh waktu - kini telah mengerjakan sebahagian pekerjaan mereka di rumah. Inilah dampak positif perkembangan teknologi komunikasi dan informasi.

Di Amerika dan Eropa semakin populer istilah "Soho," yaitu single-operator home office. Setiap rumah di
Amerika kini telah memiliki komputer; 40 persen diantaranya dilengkapi modem sehingga dapat berhubungan dengan dunia luar. Ini memungkinkan mereka bekerja dari rumah tanpa perlu repot-repot ke kantor.

Pergi ke kantor memang merupakan suatu pekerjaan sendiri yang membutuhkan pengorbanan finansial dan emosi. Katakanlah, Anda menghabiskan minimal 2 jam setiap hari di jalan. Ini berarti 10 jam / minggu atau lebih dari 500 jam / tahun terbuang sia-sia/ Belum lagi waktu yang diluangkan untuk bersiap-siap ke kantor, beristirahat karena kelelahan dan terganggunya kesehatan Anda karena kesal dan frustasi.

Milenium ketiga memang ditandai dengan fleksibilitas yang di fasilitasi dengan kemajuan teknologi. Untuk melakukan komunikasi tatap muka pun Anda dapat menggunakan video phone. Dengan alat ini Anda dapat melakukan pertemuan bisnis tanpa harus melakukan perjalanan apa pun.

Bekerja di rumah juga menguntungkan perusahaan. Banyak studi  yang menemukan ketidakefisienan bekerja di kantor. Salah satunya adalah yang dilakukan Booz, Allen & Hamilton yang meneliti 90.000 manajer. Mereka menemukan bahwa para manajer tersebut memboroskan seperempat waktu mereka di kantor dengan ngobrol dan minum kopi serta rapat-rapat yang tak jelas hasilnya.

Masalah lain adalah harga sewa ruangan yang semakin mahal. Dengan bekerja jarak jauh, kantor bisa menghemat biaya karena tak perlu menyediakan ruangan dan meja kerja. Cabang Digital Equipment di Inggris, misalnya, berhasil menghemat 3,5 juta pounds pertahun dengan menetapkan rasio orang terhadap meja menjadi 12:1.

IBM berhasil menghemat $14 miliar dengan meminta 20.000 manajernya berbagi ruangan. Hal ini perlu dilakukan karena orang tak seefisien mesin dalam menggunakan ruangan. Jarang orang yang bekerja lebih dari 60 jam / minggu, sementara mesin dapat bekerja 168 jam / minggu.

Bahkan menurut Frank Becker, direktur International Workplace Studies Program di Cornell University, "Kira-kira 70 persen dari mereka yang bekerja pada konsultan manajemen, penjualan dan pelayanan pelanggan biasanya tidak dapat ditemukan di mejanya."

Manfaat lain dari bekerja jarak jauh adalah pada faktor kesehatan dan kehidupan keluarga. Penelitian (1993) menunjukkan bahwa 1 dari 3 orang Amerika merasakan pekerjaan sebagai stres terhebat dalam kehidupan mereka.

Ada 52 persen orang Amerika menderita karena pekerjaan. Orang Jepang  yang terkenal workalholic dan setiap tahunnya bekerja 400 jam lebih lama dari orang Eropa, menciptakan istilah "kaoroshi" karena banyak menemukan kasus kematian akibat bekerja terlalu keras.

Stres dalam bekerja bukanlah semata-mata disebabkan pekerjaan itu sendiri tetapi juga oleh masalah-masalah yang sering menimbulkan frustasi seperti pertengkaran dan politik kantor. Hal-hal semacam ini bisa dihindari dengan bekerja jarak jauh. Sistem ini akan mendorong manajer untuk lebih memikirkan produktivitas daripada status dan hirarki.

Karena itu konflik politik dapat diminimalisi. Stres dapat pula terjadi karena konflik kepentingan antara pekerjaan kantor dan kehidupan keluarga. Bekerja di rumah membuat kedua kepentingan tersebut seimbang. Dengan berbagai contoh tadi tidaklah mengherankan kalau produktivitas akan makin meningkat. Sebuah penelitian di AS membuktikan produktivitas pekerja naik 15-20 persen jika mereka bekerja di rumah.

Bekerja jarak jauh tampaknya dapat menjadi alternatif yang cukup menjanjikan untuk memenangkan kompetensi di abad ke-21. Namun pelaksanaannya - apalagi untuk situasi Indonesia - bukannya tanpa masalah.

Salah satunya, masalah pemberdayaan (empowerment) yang menjadi salah satu isu terpenting dalam SDM sejak awal 90-an. Pemberdayaan memberikan ruang gerak dan wewenang yang lebih besar bagi setiap orang untuk mengelola kinerjanya sendiri serta mengambil keputusan-keputusan yang langsung berkaitan dengan pekerjaannya.

Namun pemberdayaan baru akan efektif apabila didukung oleh tiga hal yaitu: kompetensi, kepercayaan dan tanggung jawab. Tanpa kompetensi pemberdayaan hanya akan menjadi bumerang, karena itu perusahaan harus terlebih dahulu membekali karyawannya dengan berbagai keahlian baik teknis maupun manajerial dan kepemimpinan.

Untuk memberdayakan karyawan diperlukan tingkat kepercayaan yang tinggi (high level of trust) dari perusahaan.

Pemberdayaan juga memerlukan tanggung jawab karena tanpa tanggung jawab kepercayaan ini amat mudah disalahgunakan.

Fleksibilitas yang lain dalam milenium ketiga adalah pada status para pekerja. Para pekerja yang memiliki keterampilan tinggi cenderung untuk bekerja secara paruh waktu dan temporer (berdasarkan kontrak). Status ini menguntungkan kedua belah pihak.

Karyawannya mendapatkan fleksibilitas, sementara perusahaan tak perlu memberikan manfaat seperti yang diterima pekerja tetap (full time).

Kecenderungan pekerja memilih status ini adalah karena di masa depan, perasaan aman tidak lagi diperoleh dari employment (dipekerjakan) tetapi dari employability (kelayakan/kemampuan bekerja). Krisis ekonomi telah mengajarkan kepada kita bahwa konsep employment tak menjamin rasa aman seseorang.

Rasa aman tidak dapat diperoleh dari luar diri kita tetapi harus dari sesuatu yang berada di dalam diri kita sendiri. Inilah konsep employability. Bahkan orang Jepang yang terkenal dengan konsep lifetime employment-nya mulai menunjukkan perubahan.

Survey Kementrian Tenaga Kerja (1995) menemukan bahwa kepuasan kerja bagi orang Jepang lebih penting daripada kesetiaan pada perusahaan. Di Jepang kini lebih dari seperempat tenaga kerjanya adalah pekerja paruh waktu dan temporer.

Dengan status ini mereka sama sekali tak merasa dikesampingkan. Mereka tetap merasa dibutuhkan dan terjamin seperti para karyawan tetap. Bahkan mereka memiliki satu kelebihan, yaitu mampu meninggalkan pekerjaan jika merasa menginginkannya. (*)

(SWA, Desember 1999)

0 komentar: