Mawar dan Marwan

Oleh: Ira Arindhini Sitepu

Sore itu pertemuan dengan orang tersayang akhirnya terjadi persisnya disebuah cafe ternama di daerah pelataran Ibukota. Disudut pojok café pilihanku untuk duduk menunggu seseorang yang telah kujanjikan bertemu.

Sore itu, ditengah keramaian kota, dari sudut pintu masuk café terlihat sosok lelaki yang aku nantikan. Lelaki yang aku kagumi selama bertahun-tahun karena sifat baiknya. Lelaki yang hendak aku temui ini sangat akrab dipanggil Marwan.

Perkenalan kami sudah berjalan 5 tahun, entah bagaimana tuhan menakdirkan diriku mengenal sosok lelaki berkulit putih ini. Perkenalan ini berawal dari bangku SMA persisnya kelas II. Waktu itu, sahabatku memperkenalkan aku padanya. Semenjak hari itu, kami dekat sampai saat ini.

Pertemuan hari ini dikarenakan ada yang ingin Marwan katakan kepada diriku. Seminggu sebelum pertemuan di café ini, hubungan kami dingin karena Marwan memilih untuk mendiamiku. Fine, aku berpikir bahwa ini satu diantara cara untuk sendiri. Meski aku mengetahui apa yang membuat lelaki yang aku kagumi ini dingin terhadapku.

Disepanjang aku menunggunya, pikiranku terus melayang dan bertanya-tanya. “Kira-kira apa yang hendak Marwan katakan,”tanyaku dalam hati. Apakah kalimat cinta yang memintaku menjadi pacarnya ? atau hanya mengatakan bahwa kedekatan ini hanya sebatas rasa sayang tanpa status.

"Ahh mana mungkin," pikirku. Dia terlalu sibuk untuk fokus melanjutkan study SI-nya demi cita-cita yang sering ia katakan kepadaku. "Lantass apa??," Pikiranku masih bertanya-tanya. Sampai aku menemui sosoknya yang sekarang duduk tepat dihadapanku dan telah meneguk minuman yang tadi ia pesan.

Aku masih memandangi wajahnya membayangkan seribu kata apa yang akan dia ucapkan kepadaku. Sehabis pulang kerja membuat pakaiannya yang mulai kusut. Walaupun begitu, aku terus memandang semua bagian tubuhnya, berharap menemukan sedikit ‘clue’ percakapan yang akan Marwan mulai di detik berikutnya.

"How are you today ?" Marwan membuka percakapan. "So good , meski ada beberapa hal yang membuatku bertanya-tanya untuk beberapa hari ini," sindirku.

"Hahaha okey, maaf membuatmu menunggu sedikit lama dari yang kita janjikan. Karena aku tadi dapat sedikit tambahan kerja," terang Marwan padaku.

"Fine, so apa yang akan harus aku dengar sore ini?" tanyaku sambil tersenyum simpul padanya. Setelah kulontarkan pertanyaan terakhir itu, kulihat wajahnya yang berubah menjadi sedikit kaku dan diam sejenak.

"Hmmm.. I'm not ready to talk this, tapi mungkin ini saat yang tepat sebelum semuanya menjadi lebih jauh lagi mawar" cetusnya dengan nada yang tiba-tiba merendah. "Maksudnya??" sambungku dengan cepat.

" Yahh, aku tau kita sudah saling mengenal beberapa tahun ini. Semua masalah yang pernah aku hadapi, selalu ku share dengan dirimu. Selain itu, kau selalu mengingatkan aku untuk hal-hal yang sering lalai untuk aku lakukan. Sejak SMA kita sudah mulai dekat, namun pertengkaran selalu menghiasi kedekatan kita dan biasanya pertengkaran itu bermula selalu karena diriku yang cuek banget, egois dan mungkin bukanlah orang yang cocok untuk mu saat ini, Mawar,” beber Marwan.


"Maksudnya apa? Aku benar2 gak mengerti apa yang sedang kau bicarakan ?" Sambungku dengan nada sedikit meninggi.

"Mawar, maaf saat ini aku gak bisa menjalani hubungan kita seperti biasanya, aku bakal jelasin ini kenapa dan gak mungkin bagiku. Pertama aku harus bekerja dari pagi hingga sore yang sering lupa untuk mengabarimu bahkan membalas semua sms atau mengangkat telponmu. Aku sadar itu membuatmu sakit,” ujar Warman.

Aku tertegun mendengar kata demi kata yang keluar dari bibir merahnya itu. “Aku sedang sibuk mengurus study ku saat ini. Itu semua aku lakukan demi masa depanku, dan aku ingin membahagiakan orangtuaku. Itu semua menambah waktu kesibukanku dari biasanya,” ungkap Marwan sembari meminum segelas air pesanannya Marwan kembali melontarkan kata-katanya. “Kamu melihat sangat sedikit waktu yang akan kita lalui bersama,” sambung Marwan.

Aku ingin fokus dengan karir dan study-ku Mawar, sepertinya aku tidak mungkin bisa membagi waktu lagi untuk mu.

(Masih dalam percakapan)

Aku memang egois yang gak pernah mau merubah sedikitpun sikapku untuk mengerti posisimu, dan aku sadar akan hal itu Mawar.

“Itulah yang aku takutkan. Kedekatan kita ini semakin jauh dan kamu semakin sakit dan aku gak mau itu. Karena itu aku rasa aku butuh waktu untuk focus dengan ini semua" tegas Marwan dengan segala ketegangannya.

Suasana menghening seketika, aku mencoba menarik nafas panjang menahan air mata yang hampir keluar. “Aku sangat tidak ingin air mata ini keluar saat bertemu dengan orang yang aku sayangi selama bertahun-tahun,” gumamku dalam hati. Disisi lain café itu kulihat, sepasang manusia sedang bercengkrama. Sayang, nasibku tak seperti mereka.

Untuk kedua kalinya aku menarik nafas panjang dan kuhela perlahan mencoba menjawab sekaligus menyanggah semua perkataan yang membuat aku syok sore itu.

"Hhmm, serumit itukah untukmu mnjalaninya?, bukankah dulu kau yang bilang, saat kau memulai perkuliahan ini, aku sering mengatakan bahwa kau akan semakin sibuk dan pastinya waktu untuk sekedar menyapaku akan semakin sedikit dan kau akan semakin sibuk dan kau akan semakin lupa dengan hal-hal kecil yang sering kau lupakan termasuk menjaga kesehatanmu? Lantass apa yang kau jawab saat aku berkata seperti itu? kau menjawab "bukankah aku selalu punya kamu yang akan mengingatkanku untuk hal itu" benar? Itu jawabmu kan? Lantas kenapa kamu mempermasalahkan keberadaanku yang hanya karena kemarin aku sedikit kesal dengan mu dan datang memarah2imu," kata dengan mata berkaca.


Marwan terdiam sambill melihati wajahku yang mungkin sudah sejelek makibau karena mencoba menahan tangis dan berusaha bicara dengan emosi yang tertahan.

"Aku menyayangimu dan aku tak pernah mempermasalahkan sikap cuekmu, egoismu. Aku juga gak pernah melarangmu untuk menggapai semua mimpimu, benar?" Sambungku dengan nada yang sudah mulai parau.

"Sekarang aku tanya kepadamu, benarkah tak ada lagi niat untukmu bersamaku dikemudian hari hanya karena sikapku kemarin yang kau anggap aku sama seperti waktu SMA memarahimu karena kau tak memberiku kabar? Dan apakah hanya karena masalah kemarin, semua perlakuanku slama ini kau anggap tidak nyaman??" Lanjutku sambil memandangi wajahnya.

Kulihat Marwan terdiam mencoba membuang pandangannya dariku. Ntah apa yang dia cari disekeliling pandangannya, aku masih saja melihat sosok yang kukenal lembut itu dengan segala pertanyaanku.

Kulihat dia menggossok-gosokkan hidungnya dengan perut ibu jarinya. Kemudian dia memandang kearahku lagi , kali ini dia mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaanku tadi.

"Mawar, kau tau perasaanku yang sebenarnya tanpa harus aku ucapkan, aku hanya tak ingin menyakitimu lebih dari ini hanya karena keegoisanku, karena aku sedang ingin fokus mee…

"Jawab pertanyaanku Marwan dengan jelas," Tegasku memotong pembicaraannya.

"Okey okey Mawar. Ya aku menyanyangimu, aku ingin bersamamu dikemudian hari nanti, aku juga nyaman dengan semua omelan-omelanmu slama ini, tapi aku ingin fokus Mawar, aku takut menyakitimu, percuma masalahnya tuh tetap sama, selalu seperti ini kan?" Jawab Marwan mencoba menjelaskan.


"Hmm jika memang seperti itu, kau tau kenapa manusia diciptakan berpasangan?? Karena gak da satu pun yang bisa hidup sendiri, dan untuk proses menjadi pasangan yang suci dimata Tuhan itu gak mudah, selalu ada cobaan yang didatangkan-Nya lewat setiap masalah yang kita hadapi bersama, kenapa kau berpikir aku akan sakit hati dan masalah ini akan terus sama? Coba pikirkan sejenak, bukankah untuk menyatukan 2 orang yang berbeda menjadi kesatuan yang sempurna saling melengkapi itu juga bukan hal yang mudah,” terangku kepada Marwan.


Mulai dari masa penjajakan, mengenal lebih lanjut, mendapatkan masalah, memecahkannya bersama,memahami satu sama lain, sampai pada akhirnya mereka memutuskan untuk terus bersama selamanya. “Bukankah itu terlihat tak mudah?” tanyaku.

Aku tak habis pikir dengan sikapmu yang hanya karena masalah kemarin, kau mengambil kesimpulan dari caraku kemarin bahwa aku tak menerima sikapmu selama ini.. Dengan semua alasan yang kau buat, aku tak mengerti kenapa sekarang kau berpikir seperti ini.


Dear, coba sejenak pikirkan, ini semua proses dan proses ini baru dua kali kita hadapi kan, ini semua proses untuk aku dan kamu saling mengenal satu sama lain lebih dalam, biarkan aku terbiasa dengan sikapmu, agar jika Tuhan mengehendakiku untuk terus hidup bersamamu kelak.

Aku benar-benar mengenal sosok itu, melayaninya dan memahami setiap tindakannya. “Kenapa kau takut dengan proses ini?” tanyaku kepada Marwan.

Segala sesuatunya mendapati proses. Aku tahu impianmu yang menjadi prioritasmu saat ini. Aku sadar, mungkin dengan adanya masalah kemarin, membuatmu sadar kau tak bisa fokus dengan impianmu karena ada aku “aku yang membuat pikiranmu terbagi, benar?" tanyaku.

Suasana menghening seketika, aku mencoba melanjutkan berbicara dgn tenang. "Aku hanya ingin mengenalmu lebih jauh, agar aku terbiasa dengan sikapmu, tapi jika hal itu pun membuatmu keberatan untuk tetap bersamaku, aku ikhlas dear, aku ikhlas jika aku harus membiarkanmu pergi untuk menggapai mimpimu.


Kejarlah impianmu selagi masih banyak waktu untuk itu. Kejarlah mimpimu yang didalamnya juga itu sebagian dari mimpiku untuk melihatmu sukses dikemudian hari.


Tangisku mulai menetes membanjiri pipiku tanpa kusadari sejak tadi. Tak tahan membendung semua perasaan ini aku mencoba mengatakan ini sekali lagi kepadanya.

Kalau ini membuatmu bahagia dan membebaskanmu dari segala sesuatu yang memberatkanmu untuk melangkah, pergilah. Aku rela demi mimpi-mimpimu aku harus melewati hari-hariku tanpa mengomelimu, aku rela demi mimpi-mimpimu hari-hariku sunyi tanpa adanya tawa diantara kita lagi.

Aku bahagia jika semua mimpimu terwujud, aku bahagia melihat orang yang aku omelin setiap hari , suatu saat nanti hidup bersama mimpi yang slama ini ia kejar, tapi please jangan kau suruh aku untuk berhenti menyayangimu sampai disini..

Biarlah rasa sayang ini terus ada meski dia tak lagi disambut dengan kasihmu. “Ini suatu perasaan yang terlalu istimewa untuk aku buang," Sambungku dengan nada sangat parau.

Tak kuat dengan ini semua, akhirnya aku menumpahkan semua air mataku dengan berlari menuju toilet yang ada di cafe itu, aku menangis semenjadi-jadinya merasakan seperti sebagian dari tubuhku mati karena rasa sakit yang teramat dalam ketika aku harus mengetahui ini semua, tak perduli dengan orang yang akan mendengarkan tangisanku ditoilet itu, aku terus menangis mencoba melepaskan seseorang yang selama ini kusayangi demi semua mimpinya.

Aku menemukan titik ikhlasku,namun aku kuakui aku tak mampu menahan sakitnya. Setelah beberapa saat kemudian aku menyelesaikan tangisku, kupandangi wajahku dikaca toilet dengan beberapa sisa air mata yang masih menempel di ujung-ujung pelipis mataku.

Mencoba menarik nafas panjang dan siap menemui Marwan kembali disudut cafe yang sejak tadi aku tinggalkan.

Aku melangkah meninggalkan toilet, kulihat Marwan masih dengan wajah tertunduknya sambil memegangi kepalanya, kucoba untuk menenangkan hatiku sebelum menatap wajahnya. Sekarang aku duduk didepannya lagi, perlahan dia menaikkan wajahnya untuk melihatku.

Astaga seperti ada beribu tikaman di dada ini saat mata kami saling bertemu. "Maafkan aku Mawar," serunya memecah keheningan kami.

Aku tak mau perpisahan ini terlihat buruk, aku harus bisa membuatnya percaya bahwa aku orang yang bisa dia andalkan untuk hal ini. Berkali-kali aku mencoba menenangkan hatiku dan mencoba menunjukkan wajah ikhlas kepadanya dengan sesimpul senyum yang aku berikan saat dia menatapku.

Entah dia heran dengan senyuman itu atau apapun yang ada dibenaknya,aku mencoba menahan senyum ini untuk beberapa detik.

"Aku gak papa, aku akan baik-baik saja, lagi pula itu berartikan pekerjaanku untuk mengingatkanmu dan mengomel-ngomelinmu akan tidak ada lagi, dan kau membuat umurku jauh lebih panjang dari sebelumnya karena tidak melakukan hal itu lagi. Benar kan hahaha," Aku mencoba tertawa palsu menahan sakitku saat harus mengatakan itu semua, dan demi suasana yang sudah dari tadi membeku.

Tapi kulihat dia hanya tersenyum, dan itu senyuman paling ‘jelek’ yang pernah kulihat diwajahnya karena dia memaksa untuk tersenyum dihadapanku dengan hati yang juga terluka dan merasa bersalah.

"Yasudah, hari sudah hampir malam, sebaiknya kita pulang agar kamu bisa beristirahat untuk bekerja esok," celotehku sambil berdiri mengisyaratkan untuk segera meninggalkan tempat ini.

Tanpa berkata apapun, dia hanya menuruti apapun yang kukatakan sore itui. Entah itu sebagai tebusan atas rasa bersalahnya, entah karena enggak ada lagi kata yang mampu dia lontarkan, aku tak tahu.

Sore itu dia menawarkan dirinya untuk mengantarkanku pulang sampai kekosan ku. Akupun tak ingin menolak niat baiknya, dan akhirnya dia mengantarku pulang. Dalam perjalanan diam menyelimuti perjalanan kami menuju kosanku.

Sampai didepan kost, kami saling bertatap untuk beberapa menit, sampai pada akhirnya aku menyuruhnya untuk segera pulang karena hari mulai gelap. Dia pun berpamitan kepadaku dan akhirnya melangkah membelakangiku. Ku pandangi punggungnya yang berjalan meninggalkanku sampai sosok itu tak terlihat lagi.


Seperti ada yang hilang ketika dia pergi dari hadapanku sejak tadi. Hari mulai gelap, kumandang adzan mulai terdengar disegala penjuru angin. Aku masuk dan berniat mandi. Selesai mandi aku mengambil waktuku sejenak untuk melaksanakan tugasku sebagai seorang hamba yang lemah menunaikan sholat.

Dibeberapa menit aku mengambil waktu khusyuk bersama-NYA, kini aku ingin bercerita kepadanya lewat doa-doaku.

"Ya Rab, Engkaulah sipemilik kasih yang Maha Mengasihi terimakasih atas setiap kasih yang Engkau berikan sampai hari ini dengan segala nikmat dan karunia yang aku miliki saat ini. Hari ini aku dan dia sudah memutuskan untuk tak menjalani hubungan istimewa ini lagi. Dan Kau tahu ini sangat begitu berat untuk kujalani. Namun peliharalah aku selalu dalam bahagia-Mu meski tanpanya. Aku tak ingin menjadi mahluk egois yang menghambatnya mengejar mimpi-mimpinya, karenanya mudahkanlah selalu langkahnya untuk meraih impiannya. Ya Rabb, Engkaulah yang Maha Mengetahui. Jika didalam hatinya masih tersimpan rasa sayang untukku, jadikan rasa itu penguat untuk hari-harinya yang sejak esok harus tanpa aku disampingnya, jangan jadikan dia lemah karena perasaan itu.

Ya Rab, aku sadar aku mahluk mu yang jauh dari kesempurnaan, dan karena ketidaksempurnaanku itu dia harus mengakhiri ini semua. Namun jangan kau jadikan aku mahluk yang tidak mau berusaha untuk mendekati kesempurnaan itu, tuntunlah aku untuk menjadi hambaMu yang berahlak jauh lebih baik dari hari kemarin yang terus berada dijalanmu. Aku ingin menebus rasa bersalahku yang telah membuat ini semua terjadi dengan berusaha untuk terus menjadi yang lebih baik dari hari kemarin. Jika usaha dan semangatku nantinya Engkau rasa sudah pantas untuk bisa bersamanya lagi dikemudian hari nanti, maka berikanlah kesempatan untuk aku mencoba mengenalnya lagi ya Rabb.

Ya Rab kupasrahkan seluruh hidupku hanya kepada-MU, ku ikhlaskan semua yang terjadi hari ini kepadaMu, hari esok masih misteri bagiku, begitu pula dengan jodohku yang ada ditangan-Mu, namun bolehkah aku berharap dan meminta kepada-Mu dikala suatu hari nanti kau ingin memberikanku pendamping hidup, pertemukan aku dengan dia kembali dalam kasihMu yang suci, aku ingin dia yang menjadi imamku kelak yang akan mengasihiku dan menuntunku untuk terus berada didalam KasihMu ..

Ya Rab,sesungguhgnya Engkaulah Maha Pelindung, Lindungilah dia selalu dari segala macam marabahaya yang ingin melukainya, dan jauhkan dia dari hal-hal buruk yang menyesatkannya.

Ya Rab, terimalah doa-doaku karena sesungguhnya Engkauulah tempat ku memohon dan meminta..
Amin," pintaku dalam doa sehabis sholatku.

Selesai ku bercerita pada-NYa ada ketenangan yang kurasakan, kutitipkan dia bersama cinta Kasih-Nya , biarlah Dia yang menentukan nasib kisah kasih kami ini, pikirku..

Sejak hari itu kujalani hari demi hari tanpa Marwan dengan semangatku untuk juga segera menyelesaikan kuliahku. “Yahh kujadikan rasa sayangku ini sebagai motivatorku untuk terus bisa semangat menjalani hari-hariku tanpanya, karena aku juga tahu, Marwan tak ingin melihat Mawarnya sedih dan tak bersemangat hanya karena perpisahan itu, karena didalam hati kami yakin, jika Tuhan menghendaki kami bersama disuatu hari nanti, maka Marwanku akan menjemputku kembali bersama mimpi yang telah ia capai,” harapku. (*)

0 komentar: